Selasa, 18 Agustus 2015

Krisis Air Labuan Bajo VS Pilkada

Oleh Rioashley Hunter (Saverinus Suryanto)

Krisis air di kota Labuan Bajo-Manggarai Barat-Flores NTT menjadi trending topik yang terus diperbincangkan di kalangan masyarakat labuan bajo baik itu melalui diskusi (informal) secara langsung antara masyarakat (tanpa adanya media/saluran komunikasi yang digunakan) maupun diskusi (komunikasi) melalui media sosial seperti facebook. Sejumlah foto yang diunggah di media sosial oleh facebooker yang mengisahkan warga kota labuan bajo yang begitu sulitnya mendapatkan air bersih.

Tentu ini menjadi persoalan yang cukup serius untuk diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk segera mencari solusi yang tepat jika mau menyelamatkan ribuan nyawa masyarakat setempat. Misi kemanusian pemerintah pusat dan daerah justru diuji dalam persoalan konkrit yang sedang dihadapi masyarakat. Jika pemerintah tidak segerah mengambil solusi, maka ribuan nyawa akan tewas terpanggang oleh panasnya kota labuan bajo.

Tentu saja dalam persoalan konkrit seperti ini menjadi alaram untuk membangunkan pemerintah yang sedang tidur terlalu lama dalam menara yang begitu megah.


Persoalan air di kota labuan bajo merupakan sebuah isyarat yang memiliki pesan kepada pemerintah agar bisa meluang waktu dari aktivitas politik (yang hanya menguntungkan keluarga sendiri) dan segera membangun ide atau gagasan untuk memecahkan persoalan yang sudah lama mendera masyaraka labun bajo dan sekitarnya.

Sayanagnya, fakta yang terjadi justru pemerintah bersikap cuek (epenkah) dan malah terus sibuk mendandani diri agar kelihatan cantik dalam menghadapi kompetisi pilkada yang akan digelar pada bulan Desember mendatang. Sesungguhnya pesta demokarsi (katanya) dalam pemilihan kepala daerah hanya menghasilkan luka batin (karena inkar janji) bagi masyarakat dan hanya menguntungkan keluarga dari para kontestan yang maju sebagai balon (bakal calon).

Sikap pemerintah yang mengabaikan kesejahteraan rakyat justru akan menjadi bomerang bagi pemerintah itu sendiri. Karena timbul sejumlah presepsi yang wajar dari masyarakat (kelas kaum intelektual organik) bahwa pesta pilkada tidak memiliki nilai guna bagi masyarakat dan bahkan ada yang memasang presepsi bahwa pilkada seperti sebuah perangkap yang sudah dirancang oleh pemerintah untuk menyandera masyarakat. “laun ntaung, sinan mole liwa toe tara itas pemerinta ata mai ba di,a (konsep mengubah pemikiran yang konvensional). Dalam hal ini, masyarakat sedang berada dalam jebakan maut dari ribuan janji palsu. Yang ada hanya perasaan sakit hati dari masyarakat.

Menghadapi kenyataan ini, tidak heran jika sebagaian masyarakat memasang sikap yang apatis dengan pesta pilkada. Lagi sejumlah presepsi, “co sibuk keta lita pilkada hitu ta, bom latang ite eme jadi hia. Latang te weki run agu keluarga run kin hia,” sikap masyarakat seperti ini adalah hal yang wajar. Asumsi yang keliru tapi wajar dari masyarakat bukan tak beralasan. Justru karena mereka (masyarakat) berhasil meneropong sejumlah jejak pemerintah yang terjebak dalam dosa struktural (birokratisme koruptif) dan mengabaikan janjinya kepada masyarakat yang sudah lama menanti.

Pemerintah yang inkar janji dan muda melupakan kebaikan rakyat sepertinya sedang mengalami gejala amnesia. Karena sesungguhnya perjuangan masyarakatlah yang berhasil membawanya menju ke tampuk pemerintahan dengan harapan bisa membebaskan masyarakat dari jurang kemiskinan dan ketinggalan zaman. Ini seperti cerita Malin Kundang si anak durhaka yang tega melupakan kebaikan orang tuanya da tidak mengakui orang tuanya yang sudah berhasil membesarkan namanya.

Jika pemerintaha tidak ingin disebut sebagai anak durhaka oleh masyarakat, saatnya keluar dari persembunyian kemapanan profesi dan segara menyelamatkan masyarakat sudah beberapa lama terpanggang karena krisis air yang menjadi sumber kehidupan yang utama.

Labuan bajo-Mabar, sudah beberapa periode menggelar pesta demokrasi yang bisa melahirkan pemimpin (kepala) daerah. Namun, belum ada satu pun kepala daerah yang berhasil memecahkan persoalan ini. Terus siapakah yang akan memecahkan kebuntuan ini? Tentu pertanyaan ini menjadi PR dan bahan permenungan bagi pemerintah yang sedang tidur terlelap.

Menjelang pilkada, tentu sejumlah persoalan sosial masyarakat seperti krisis air, jalan yang rusak, jembatan, irigasi, waduk, jalan beraspal, sejumlah persoalan sosial lainnya berhasil diteropong oleh para kontestan yang ingin naik ke puncak. Namun setumpuk persoalan tersebut hanyalah menjadi bahan untuk memprsentasekan kebohongannya kepada masyarakat untuk menjatuhkan lawan politiknya yang merupakan kontestan dari mbaru gendang tetangga.

Karena dari dokumentasi yang terekan dalam album memori masyarakat bahwa pemimpin terdahulu sebelum menjadi kepala daerah dia menggunakan bahan yang sama dengan bahasa yang sama dalam kampanye menuju kompetisi pilkada. Kenyataannya, belum ada satu pun pembangunan yang tersentuh oleh pemerintah. Krisis air bersih (di kota) tetap ada, masyarakat pedesaan masih berjalan kaki dengan melewati sunga menuju ke kota untuk membawa beras kepada sang buah hati yang mengenyam pendidikan di kota, sawah para petani yang gagal panen karena tidak adanya waduk yang bisa menampung air hujan, masyarakat dan ibu hamil yang meninggal karena tidak adanya rumah sakit. Kesimpulannya, masyarakat tidak melihat adanya kemajuan daerah.

Muncul sejumlah pertanyaan, apa yang pemerintah buat ketika menjabat sebagai pemimpin daerah? Mengapa pemerintah tidak memperhatikan persoalan sosial yang mengancam ribuan nyawa masyarakat? Apakah pemerintah terlalu sibuk dengan mengurus Ijin tambang yang bisa mengumpul rupiah untuk menebal dompet jika dirinya tidak menjabat lagi? Apakah pemerintah terlalu sibuk mencari lahan rekresasi publik (lahan pantai) untuk dirampas dari masyarakat dan menjualnya kepada para investor karena ada komisi yang menggiurkan? Hanya merekalah (pemimpin daerah) yang mengetahuinya.

Harapannya, muda mudahan pilkada kali ini bisa melahirkan manusia utusan sang Dewa Agung untuk membangkitkan daerah ini dari keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan dari daerah lain. Harapan lain yaitu, semoga pilkada kali ini bisa menghilangkan budaya memelihara tikus di kantor yang bisa memakan kertas bertulis angka. Karena kertas bertulis angka itu adalah milik rakyat bukan milik para tikus. Jika tikus terus dipelihara, maka kantor akan disulap menjadi sarang tikus. Jika semua kantor dijadikan sarang tikus, maka tikus tikus itu akan berkonspirasi untuk merencanakan hal jahat yang bisa memakan semua kertas berangka milik rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar