Senin, 27 Juli 2015

TENTANG SEMINARI DAN KITA

Oleh Valens Daki-Soo *)

valens daki-soo
Seminari untuk (si)apa? Saya jawab sendiri: seminari itu untuk kita semua, bahkan termasuk mereka yang bukan Katolik.

Tatkala Seminari Mataloko (selanjutnya disebut 'seminari') didirikan, spirit dasar yang menggerakkan bapak pendiri adalah cinta kepada Tuhan, yang harus dimanifestasikan kepada dunia. "Dunia" itu bisa bersifat universal, maupun yang partikular-lokal.

Secara universal, seminari diharapkan dapat melahirkan pewarta-pewarta yang baik dan siap berkarya di mana saja di bumi ini. Secara partikular-lokal, seminari dibangun untuk mendidik anak-anak setempat agar bisa memiliki "kepribadian yang seimbang", lalu bisa ikut membangun diri dan masyarakatnya, tidak hanya Gereja Katolik. Itu sebabnya, saya katakan "seminari itu untuk kita semua, termasuk mereka yang bukan Katolik".

Sebagai seminari, arah utama formasi dan edukasinya adalah mendidik para calon imam Katolik. Namun, karena diyakini tidak mungkin semua bisa menjadi imam, maka pendidikan seminari digulirkan dengan meletakkan basis pengetahuan dan nilai-nilai yang kiranya bisa mekar dalam proses tumbuh-kembang peserta didik, agar mereka siap untuk ikut membangun Gereja, masyarakat dan bangsa melalui kiprahnya baik sebagai imam maupun sebagai awam/non-klerus.


Kedua, apakah seminari merupakan "lembaga unggul" untuk menghasilkan manusia unggul?

Setiap lembaga pendidikan tentu saja punya visi, misi dan idealisme tertentu, termasuk untuk melahirkan manusia yang cerdas multi-aspek. Artinya tidak hanya cerdas intelektual tetapi juga cerdas emosional, spiritual dan seterusnya. Jika para pengelola seminari memiliki visi-misi-orientasi semacam itu, tidak berarti mereka menjadikan atau menganggap seminari sebagai suatu lembaga "ueber alles", superior, di atas sekolah-sekolah lain. Justru seminari butuh sekolah-sekolah lain yang bermutu prima. Bukankah seminari tidak bisa hidup tanpa SD, SMP dan SMA non-seminari? Dari mana seminari menerima muridnya kalau bukan dari luar?

Dalam konteks ini saya bisa paham, jika ada lulusan non seminari yang merasa kecewa ataupun "marah", karena perhatian Gereja tidak sama besarnya terhadap seminari dengan sekolah swasta Katolik. Kepada mereka saya bisa sedikit jelaskan, itu mungkin soal prioritas dan juga keterbatasan pimpinan/hirarki Gereja untuk bisa jangkau semua.

Jadi, hemat saya, kalau pun dipakai kata "unggul", itu tidak perlu dikaitkan dengan gagasan Hitler atau "der Uebermensch"-nya Nietzsche. Keunggulan itu bisa dicapai di mana saja, tidak hanya di seminari. Namun, karena diandaikan lembaga ini harus mencetak para calon imam (pemimpin formal Gereja Katolik) dan juga para kader awam, maka upaya untuk menjadikannya unggul (dalam arti berkualitas prima) menjadi mutlak perlu.

Ketiga, apakah seminari masih perlu dan relevan saat ini? Ya, selama Gereja Katolik eksis, selama itu seminari akan tetap diperlukan. Meskipun Anda seorang doktor Fisika, jika Anda ingin menjadi imam, Anda mesti masuk seminari (tinggi).

Persoalannya, apakah kita pertahankan seminari dengan model yang sekarang ataukah ada model-model lain yang bisa diadopsi dan dipakai?

Banyak kalangan mempertanyakan dengan kritis, apakah model pendidikan seminari sekarang cocok dengan perkembangan zaman. Ada penilaian, model pendidikan yang macam ini justru membuat para seminaris seperti terkungkung dalam menara gading, tidak bisa mengalami keseharian hidup masyarakat di luar seminari. Ada pula yang menilai, model pendidikan seperti sekarang ini mungkin kurang kondusif bagi terbentuknya kepribadian yang seimbang.

Keempat, apakah seminaris (siswa seminari) dan eks seminaris lebih "hebat" dibandingkan teman-teman di luar? Saya katakan, tidak!

Dulu, ketika sekolah swasta bermutu masih terbatas (belum ada), para seminaris memang diandalkan dan dibanggakan di kalangan masyarakat kita. Saat itu mereka memang orang-orang pilihan dari "pilihan yang terbatas". Mereka diajarkan berbagai bahasa asing, sehingga para imam tua itu fasih berbahasa Latin, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda dan Italia. Karena fasih berbahasa asing, mereka pun punya akses "istimewa" terhadap ilmu pengetahuan karena kebanyakan buku bermutu saat itu dalam bahasa asing.

Era kami di seminari sudah berbeda. Dari generasi kami (mungkin juga sebelum-sebelumnya) sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang anak SD di Jakarta sudah belajar bahasa Mandarin, Inggris dan lain-lain. Namun, yang diharapkan masih bisa diperoleh dari seminari adalah hal-hal lain seperti penanaman nilai psikospiritual dan sebagainya.

Jadi, menyebut kami menganggap diri hebat itu mungkin cuma prasangka. Kami tidak merasa diri hebat, bahkan banyak eks seminaris yang tunggang-langgang dalam hidup, berjuang susah-payah, jatuh-bangun, seperti saya juga alami.

Kalaupun ada eks seminaris yang merasa diri hebat, itu pasti anggapan semu. Untuk bikin prestasi dan meraih sukses, itu bukanlah soal "sekolah di mana", melainkan tergantung pada sikap, ethos kerja, prinsip hidup dan karakter pribadi.
Kelima, apakah seminari memicu dan mendukung ketimpangan/kesenjangan sosial di Flores?

Mungkin perlu penelitian lebih serius, namun saya berpikir sebaliknya. Justru seminari (dan banyak sekolah lainnya) menyumbang bagi pengikisan feodalisme yang amat lama merasuki tatanan sosio-kultural masyarakat Flores. Hemat saya, seminari membantu pencerahan dan pengembangan diri banyak anak muda Flores. Seminari juga ikut membuka ruang dan mendukung mobilitas vertikal. Banyak anak petani dan guru kecil yang bisa mengalami kemajuan karena dibekali pengetahuan di seminari.

Dikaitkan dengan "elitisme" dalam penerimaan siswa seminari, saya belum cek kondisi saat ini. Pada masa kami, yang penting lolos tes. Pembayaran uang sekolah pun tergantung kemampuan sesuai kategorisasi sederhana: petani, guru, pengusaha. Namun, sebenarnya hampir tak ada bedanya, bahkan petani cengkeh di Mauponggo bisa lebih banyak uangnya ketimbang guru di Nangaroro misalnya. Pembayaran pun bisa dengan menyicil, jadi sangat meringankan orang tua murid.

Keenam, apakah seminari perlu dibantu pendanaannya?

Soal dana memang krusial, dan celakanya itu inti masalah karena berdampak pada kualitas seminaris dan dalam jangka panjang kualitas para imam.

Saya menawarkan langkah berikut ini:

1. Keuskupan Agung Ende (KAE) -- baca: yayasan pengelola -- sebagai pemilik seminari membuka kerja sama dengan pihak swasta. Masalahnya, uang tidak bisa datang hanya dengan kotbah imam dan orasi politisi, Bung Karno sekalipun -- ini untuk Bung Emil sebagai pengagum BK. smile emoticon Uang besar harus "dijemput" melalui usaha, dalam hal ini bisnis. KAE perlu buka lebih banyak unit usaha/bisnis, ajak pihak swasta yang kredibel. Tidak perlu benci/alergi dengan bisnis. Vatikan punya saham di berbagai bisnis besar.

2. Optimalisasi unit-unit usaha yang sudah ada. Kita tidak tahu bagaimana pengelolaan peternakan atau kebun cengkeh di Malanuza, misalnya. Seminari harus lebih transparan dalam tata kelola keuangan. Bila perlu pakai manajer dan auditor profesional. Istilah "ekonom" di seminari sering hanya dimaksudkan untuk pastor yang "pegang dan keluarkan uang". Mestinya yang tahu dan mahir mengelola keuangan, termasuk misalnya dengan memainkan itu di pasar modal.

3. Upaya menggalang dana secara sporadis memang tidak salah, namun tidak dapat diandalkan untuk jangka panjang. Lagipula, biasanya tidak terlampau banyak jumlah yang dapat digalang -- belum lagi sulit ditagih ke para donatur yang sudah janjikan bantuan. Kendatipun begitu, jika ada pihak alumni misalnya menggalang dana secara rutin, itu sebenarnya bagus sebagai wujud kepedulian. Lebih bagus lagi, jika kepedulian itu tidak hanya ditujukan untuk seminari, tetapi juga sekolah-sekolah swasta lainnya.

4. Lobi intens/kuat dengan pemerintah, agar ke depan seminari diperhatikan secara lebih memadai. Saya pernah berpikir, bagaimana kalau seminari dibikin seperti IAIN, agar dana dari pemerintah dapat mengalir secara berlanjut. Entahlah, saya tidak mendalami dunia pendidikan, apakah itu mungkin? Mungkin ada soal bahwa pemerintah akan banyak intervensi, namun itu bisa dipagari dengan cara-cara tertentu.

5. Seleksi siswa seminari harus didasarkan pada kualitas akademis dan kepribadian, bukan pada potensi dan kemampuan ekonomi orang tua siswa. Jika ada siswa yang sangat cerdas namun orang tuanya terbatas secara ekonomis, seminari bisa mencarikan orang tua asuh. Saya yakin masih banyak orang kaya yang berkehendak baik dan rela membantu.

*) Penulis adalah alumnus seminari menengah dan seminari tinggi, penulis, juga politisi muda PDI Perjuangan. Penulis juga pendiri PT Veritas Dharma Satya (VDS), sebuah perusahaan yang fokus pada kegiatan pelatihan (training) dan konsultasi (consulting) berbasis di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar